Gibasnews.com, BEKASI - Ditengah banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak, dan minimnya fasilitas pusat rehabilitasi, Ketua Komisi IV DPRD kota Bekasi mendesak Pemerintah Kota Bekasi serius menyiapkan membangun tempat fasilitas rehabilitas terhadap korban, demi melindungi generasi muda.
“Anak-anak, baik yang menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual, membutuhkan penanganan khusus. Mereka butuh ruang rehabilitasi yang aman, dengan pendampingan psikolog klinis dan psikiater, agar tidak membawa luka batin berkepanjangan,” ujar Adelia dalam keterangannya.
Adelia menyoroti betapa pentingnya masa pemulihan atau golden time pasca trauma bagi anak-anak yang terdampak. Ia mengingatkan bahwa tanpa penanganan yang tepat, luka psikologis bisa berkembang menjadi gangguan mental serius atau bahkan memicu siklus kekerasan baru di kemudian hari.
Namun, desakan tersebut tampaknya belum sepenuhnya direspon serius oleh pihak eksekutif. Pemkot Bekasi melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) mengaku belum memiliki rencana konkret untuk membangun pusat rehabilitasi mandiri. Mereka berdalih bahwa pelayanan bagi korban sudah dilakukan melalui ruang konsultasi di Puskesmas dan visum gratis di rumah sakit yang bekerja sama dengan Layanan Kesehatan Masyarakat (LKM).
“Kami memang belum punya tempat rehabilitasi khusus. Namun, untuk pelayanan trauma, kami arahkan ke rumah sakit dan konsultasi psikologis bisa dilakukan melalui ruang layanan di DPPPA,” ujar Kepala DPPPA Kota Bekasi, Dr. Satia Sri Wijayanti.
Adelia menilai, pendekatan seperti itu belum cukup. Menurutnya, pola penanganan berbasis layanan umum di Puskesmas tidak mampu menjangkau kebutuhan rehabilitasi mendalam yang dibutuhkan anak-anak korban kekerasan seksual.
“Saya rasa, kita tidak bisa menyamakan penanganan luka ringan dengan trauma psikologis. Harus ada ruang aman, suasana yang dirancang khusus untuk pemulihan anak-anak, bukan ruang tunggu Puskesmas,” tegasnya.
Selain mendorong fasilitas rehabilitasi, Adelia juga menyerukan pentingnya edukasi dan sosialisasi parenting kepada para orang tua. Ia menyebut tingginya kasus fatherless anak yang tumbuh tanpa figur ayah sebagai salah satu faktor risiko meningkatnya perilaku menyimpang dan tindak kekerasan seksual di usia dini.
“Parenting bukan hanya soal mendidik anak, tapi juga menciptakan lingkungan keluarga yang sehat. Pemerintah harus hadir lewat program sosialisasi yang menjangkau keluarga-keluarga rawan,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa perlindungan anak bukan sekadar jargon, melainkan membutuhkan intervensi nyata, anggaran khusus, dan kemauan politik dari pemerintah daerah.
“Anak-anak adalah investasi masa depan. Jika kita gagal melindungi mereka hari ini, kita sedang membiarkan Bekasi tumbuh dengan luka yang tak terlihat,” tutup Adelia. (Adv)